Selamat Ulang Tahun . .
.
Sekitar 26 tahun
yang lalu, lahir seorang anak laki-laki yang ternyata tumbuh tidak jauh dari
tempat aku menetap. Aku tidak tahu bagaimana dia tumbuh, tapi tentu saja dia
tumbuh dengan sangat baik berkat kedua orangtuanya. Dia telah melakukan
perjalanan selama lebih dari seperempat abad yang tak mudah.
Aku tahu kau
mungkin lelah melakukan perjalanan panjang kemarin. Tersandung krikil kecil,
melompati bebatuan, kadang kau bertemu tembok besar dan harus berputar arah
lagi. Kembali mencari jalan lain,
yang kau temui trek yang sama. Kau ingin pergi tapi kau sebenarnya hanya
berputar-putar ditempat yang serupa.
Kau lelah kemudian ingin pulang – bertemu denganku – mengajakku masuk
kesebuah ruang. . .
Lalu apa yang kutemui? Masih ada tamu didalam sana. Kulihat dia duduk manis
dangan sangat nyaman sambil meneguk teh yang kau hidangkan .
Aku bilang , « aku mau pergi ke tempat lain saja. »
Kau jawab, « Kalian berdua temanku . Duduklah
bersama-sama. »
Dia berkata, « Disini masih ada aku, kau mau aku yang pergi atau dia? »
Dalam keheningan, aku yang
memutuskan :
« Biar aku saja yang pergi .
. . »
Dan kau tak menahanku.
Mungkin lebih dari 356 hari
secara sengaja ataupun tidak, kau berusaha untuk meraih tanganku (lagi). Aku menolak. Secara repetitif.
« Aku tak butuh kau menarikku lagi untuk kemudian kau masukkan aku
pada jurang kekecewaan. . . »
Aku menemukan orang baru yang ingin masuk kedalam ruangku, Namun secara tidak sadar, aku malah mengajakmu masuk kembali ke ruang itu dan kau pun melakukan hal yang sama.
Kau menawarkan aku bukan sekedar
teh, lebih dari itu.
Mungkin segelas wine mewah
produksi Prancis yang aku pun sama sekali tidak tahu bagaimana rasanya. Aku tidak pernah mencoba. Aku
takut untuk meneguknya, aku takut itu membahayakanku.
Aku ragu, dan aku menolak
tawaranmu.
“Mari berdiskusi. Apa yang kau mau?¨ Tawarmu lagi
Proses bernegoisasi berlangsung kurang lebih dua hari, dan kita menemukan
titik temu itu.
Kau bilang kau siap untuk memenuhi minuman favortiku, Yap, «Segelas matcha
dingin »
Singkatnya, aku masuk.
Kau benar, sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Namun ruangmu masih
berantakan, bekas gelas itu masih ada disana dan pecah berpencar menjadi serpihan-serpihan kaca.
Aku juga tidak
tahu apakah dengan sekarang aku berada didalam ruangmu, itu sudah cukup untuk
membantumu mengobati luka-lukamu kemarin bekas serpihan kaca? Ataukah aku
hanya sekedar hadir disana tanpa memberikan makna apa-apa? Tanpa membantumu sedikitnya meringankan rasa sakit lukamu.
Aku sudah terlalu nyaman berada dalam ruangmu.
Rasanya hangat, rasanya tentram. Pantaskah aku menyebutnya bahwa kau adalah rumah
untuk pulang? Aku tak mau keluar lagi atau mencari tempat singgah lain yang
lebih nyaman. Aku lelah berjelajah. Mencari yang sebenarnya tidak tahu apa yang
aku ingin cari. Aku bersyukur berada di tempatku menetap sekarang.
Aku tidak pernah tau apakah yang kusebut rumah ini aman atau tidak? Bisa saja pondasinya sebenarnya tidak kuat. Badai datang dan merubuhkan semuanya atau mungkin ada pencuri masuk dan peristiwa buruk lainnya. Yang aku tahu aku ingin merawatnya semampu dan sebisaku. Jika mungkin suatu saat nanti aku bosan, atau kau yang bosan. Jangan pernah biarkan aku untuk keluar lagi, jangan biarkan dirimu untuk mencari rumah yang lain. Kita hanya cukup membuatnya nampak menjadi lebih baru dengan menambahkan sedikit furniture yang klasik ataupun antik.
Terimakasih karena sudah dengan sangat berani membuka pintu, untuk mempersilahkan kembali aku mengisi satu ruang terdalam dalam dirimu, yaa hatimu itu. Selamat ulang tahun sayangku . .
Terus berkarya kak, tulisannya bagus.
BalasHapusTerima kasih fans. :)
Hapus