Rasis
Racism is man's gravest
threat to man - the maximum of hatred for a minimum of reason. - Abraham Joshua
Heschel
Ada kalimat yang mengatakan bahwa "orang Perancis
lebih ramah daripada orang Jawa". Aku tahu dari temanku sebenarnya namun
ngga bisa dipungkiri aku pun mengaggukkan kepala setalah tiba di Perancis. Setiap
berjalan kurang dari lima meter dan kamu menemui orang di jalanan, dia akan
mengatakan « bonjour », bahasa Indonesianya sih "Hallo ! Selamat
pagi !" . Memang tidak semua orang mengatakan itu ketika aku berjalan
karena mungkin aku mengenakan penutup kepala ini. You know that " racisme " ada dimana-mana terutama di negara engan populasi islam yang minim. Mungkin sapaan
ini berlaku dimana didaerah aku tinggal dan tidak berlaku ketika kamu sudah
memasuki kota Paris. Betapa ramahnya mereka, kepada siapapun. Bahkan setiap bertemu beberapa jam pun host familyku disini selalu bertanya "ça va Nurul?" atau "Baik Nurul?", dan setiap akan tidur mereka mengatakan "selamat tidur, sampai besok." Lalu esok paginya mengatakan lagi, "Bonjour, ça va?". Percayalah, disini kamu ngga membutuhkan pacar kalau fungsinya cuman biar ada yang ngucapin selamat pagi dan selamat tidur.
Sore ini, aku menjemput ma petite Esmeku. Berjalan menyusuri jalan pulang dari sekolahannya
menuju rumah. Sepanjang jalan seperti biasa, sapaan " bonjour " menjadi sesuatu yang penting. Tiba ketika kami melewati halte bus, ada seorang
wanita berpakaian hitam-hitam sedang duduk sambil merokok, masih ku ingat betul
wajahnya seperti wanita berumur kisaran 30 tahun dengan rambut pendek
sebahunya.
Aku tersenyum dan mengatakan, « Bonjour »
Lalu dia membalas dangan bahasa Perancis yang artinya "Diam ! Pelacur ! Kamu muslim ! enyah dari
sini !" kakiku terhenti mendengar kalimat yang baru pertama kali
aku dengar untuk menyumpah serapahi orang di Perancis.
Sebenarnya aku sudah tau bahwa di Eropa tingkat rasis sangat
tinggi baik itu rasis terhadap orang-orang berkulit hitam (untuk orang
Indonesia mengatakan bahwa kita cukup untuk disebut hitam, namun sebenernya tidak. Hitam disini adalah orang-orang
seperti Afrika karena mereka adalah imigran, yah you know what i mean. Orang Indonesia disebut orang berkulit kuning
disini) dan rasis terhadap seorang muslim terutama perempuan yang mengenakan
kerudung atau bercaadar, yang dari zaman dahulu kala sudah dinobatkan sebagai
pelaku terorisme.
Walaupun sudah tau tentang itu, tetap saja merasa tersentak untuk pertama kalinya di caci maki dengan bahasa yang indah.
Kami melanjutkan perjalanan, meninggalkannya
dengan senyuman manis pula. Terkadang perpisahan dengan senyuman lebih
meyakitkan daripada perpisahan dengan kemarahan atau air mata. Yaelaahhh.
. .
Esme selaku anak berumur 3 tahun yang banyak keponya,
akhirnya kepo juga, "Nurul, kenapa dia berkata sepeti itu ? "
Aku hanya membalas, « Je sais pas. » .
Aku ngga tau.
Sebenernya ingin menjelaskan bahwa itu adalah suatu bentuk
rasis terhdap seorang muslim karena dia tidak suka muslim dan aku seorang
muslim yang mengenakan kerudung. Aku mengenal Esme, jika aku terus menjawab
seperti itu dia akan terus bertanya « pourquoi ? Kenapa,
Kenapa ? dan banyak pertanyaan kenapa yang lainnya.
Mungkin ngga mudah untuk orang-orang muslim yang hidup di
Eropa sebagai minoritas terutama untuk para perempuan yang mengenakan kerudung
termasuk aku dan aku benar-benar paham bagaimana kesulitannya sekarang. Kamu akan
kesulitan menyesuaikannya dengan budaya mereka seperti cipika-cipiki (artinya
bersentuhan pipi dan pipi termasuk dengan lawan jenis), lalu dengan beribadah
(karena islam menjadi minoritas, kamu akan kesulitan menemukan mesjid dan berpuasa seperti bukan bulan puasa), ketiga dalam hal bergaul (Ku akui sangat sulit
menemukan teman disini karena yaa aku pikir mereka melihat apa yang nampak dari
diriku), dan yang keempat adalah host
family ku melarangku pergi jauh-jauh ke negara tetangga (Jerman, Belgia,
Belanda, Spanyol, Itali) bahkan di Perancis sekalipun selain Paris karena aku mengenakan
kerudung. Di saat itu pula aku berpikir, "Haruskah aku melepaskan
kerudungku?"
Komentar
Posting Komentar